.
SEBAGAIMANA diketahui tepatnya pada tanggal 14 Februari 1945 atau
enam bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia disiarkan di kaki
Gunung Kelud, Jawa Timur di Kota Blitar, telah terjadi suatu peristiwa
yang sangat menggemparkan, ialah pemberontakan tentara Peta Blitar, dan
tentu kita tidak akan lupa pada seorang tokoh pemuda, yaitu nama
Supriadi, pemimpin dan pendukung utama pemberontakan tersebut.
Pada waktu kolonial Belanda Supriadi pernah sekolah di Europesche
Lagere School dan meneruskannya ke MULO di Madiun. Dan pada zaman Jepang
masuk latihan pemuda atau Seinandoyo di Tangerang, yang siswa-siswanya
terdiri dari berbagai pelosok tanah air. Di tempat ini ia mendapat
latihan dan gemblengan sebagai calon prajurit Pembela Tanah Air (Peta).
Selama dalam latihan mereka tak boleh keluar asrama, maka dengan
demikian mereka tak tahu dan mengalami bagaimana tindakan Jepang yang
mereka anggap sebagai saudara tua terhadap rakyat Indonesia
sesungguhnya.
Baru setelah latihan militer selesai dan mereka dapat bergaul
dengan rakyat Indonesia, mereka baru mengetahui betapa bengis dan
kejamnya Jepang - terutama Kempeytai-nya - yang jika kemauannya tidak
dituruti main hantam dan pukul saja, sehingga babak belur dibuatnya.
Melihat kenyataan yang demikian, timbul suatu keyakinan, bahwa
janganlah mengharap kemerdekaan bangsa dan Tanah Air akan diperoleh dari
Jepang.
Selain itu melihat kenyataan, bahwa para anggota Peta harus memberi
hormat lebih dahulu kepada Jepang, walaupun pangkat si Jepang hanya
prajurit. Nyata ini diskriminasi yang tak ada dalam kamus.
Pengalaman semuanya ini membuat Supriadi sebagai Daidan dari
Kazerne Blitar telah mengadakan permufakatan dengan bawahannya sesama
anggota Peta Blitar yang berjumlah 70 orang itu akan memberontak
terhadap Jepang yang tak dapat dipercayai lagi, bahwa Jepang akan
menepati janjinya: Kemerdekaan Bangsa dan Rakyat Indonesia.
Dengan pengamalan tersebut mereka bersemboyan:
1. Menghendaki kemerdekaan Tanah Air secepatnya
2. Kemerdekaan harus direbut dengan kekerasan
3. Sebagai bangsa yang ingin merdeka, harus berani berkorban dalam melawan penindasan dan perbuatan sewenang-wenang.
4. Konsekwensinya ialah kita harus melawan musuh dengan segala akibatnya.
Pemberontakan itu yang berarti melawan Jepang yang sedang berkuasa
dan tidak lagi patuh kepada Jepang, menimbulkan tekad Jepang dan
Kempeytainya untuk membasminya dengan kekerasan.
Tapi tidak begitu mudah Jepang menangkap mereka, karena mereka
menyusup di desa-desa sekitar Kazerne Blitar, dan penduduk yang
mengetahui keadaan mereka yang sedang dicari-cari karena pemberontakan,
melindungi mereka, karena simpatinya terhadap mereka.
Jepang yang tak kekurangan akal, dan setelah sekian lama tak
berhasil, mengumumkan bahwa para anggota Peta yang berontak akan
diterima lagi seolah-olah tidak kejadian suatu apa.
Tapi ini hanya akal-akalan Jepang saja. Sebab setelah mereka
kembali ke Kazerne mereka di Blitar, mereka semuanya dimasukkan di sel,
dan mereka akan diadili oleh pengadilan militer Jepang di Jakarta.
Kesemuanya 70 anggota Peta - termasuk enam Shodanconya - dibawa ke
Jakarta, kecuali Supriadi yang tak kembali ke Kazerne dan tak ditemukan.
Pada tanggal 12 Maret 1945, semuanya dijatuhkan hukuman dan enam
Shodanco yang ikut memimpin pemberontakan itu dijatuhkan hukuman mati
oleh Jepang dan yang lainnya bervariasi dari hukuman seumur hidup
sampai beberapa bulan. Dan hukuman mati keenam Shodanco itu segera
dilaksanakan oleh rezim Jepang, kecuali Supriadi sendiri yang dianggap
(in absentia), karena tak pernah tertangkap.
Terlepas dari dugaan orang, bahwa Supriadi masih hidup, menghilang
atau sudah wafat, tapi Kabinet Presidentil yang pertama pada tanggal 19
April 1946, Supriadi telah diangkat (in absentia) menjadi Menteri
Keamanan Rakyat, tapi ia tak pernah muncul waktu itu atau sesudahnya,
yang akhirnya dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No
063/TK/Tahun 1975 telah dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional.
Dapat pula kami tambahkan di sini tentang kemisteriusan Supriadi.
Supriadi bukan saja kabur ke Jawa Tengah, tapi terus ke daerah Banten
daerah Bayah, di Banten Selatan. Di sana ada seorang haji yang bernama
Haji Mukandar. Ia mengatakan, bahwa sesaat sebelum Indonesia Merdeka, ia
telah memakamkan seorang bernama Supriadi, bekas pemimpin tentara Peta
yang memberontak terhadap Jepang.
Haji Mukandar tahu betul siapa Supriadi. Pada waktu Supriadi sakit
(desentri), dua kawan Supriadi telah minta kepadanya agar menjaga dan
merawatnya Supriadi dengan baik. Dijelaskan pula, bahwa yang sakit itu
adalah seorang pejuang yang memberontak terhadap kekuasaan Jepang.
Demikianlah selama merawat Supriadi, haji Mukandar mendapat pesan
almarhum, bahwa jika ia meninggal agar jenazahnya dimandikan dan
disembahyangkan. Oleh karena itu waktu Supriadi wafat diperkirakan pada
bulan Juli, pesan almarhum dilaksanakan dengan baik.
Setelah Indonesia merdeka -- suatu waktu bulan April dan Mei - Haji
Mukandar kedatangan tamu dari Departemen Sosial -- Ibu Rusiah Sarjono
SH selaku Ketua Harian Badan Pembina Pahlawan pergi ke Bayah bersama
stafnya akan mengecek kuburan Supriadi. Ia membawa banyak foto-foto dan
Haji Mukandar diminta agar ia menunjukkan mana foto Supriadi, yang ia
makamkan. Tanpa kesulitan ia langsung dapat mengenal dan menunjukkan
tokoh pemberontak tentara Peta itu.
Dengan tak ragu-ragu lagi H Mukandar menunjukkan kuburan dimana
Supriadi dimakamkan. Setelah diadakan penggalian secara ilmu
kepurbakalaan sampai beberapa meter luasnya, ternyata tempat yang
ditunjuk oleh Haji Mukandar sebagai tempat mengubrukan Supriadi, tidak
ditemukan tulang sedikit pun. Memang ini aneh dan satu kemisteriusan
yang sampai sekarang pun tak terpecahkan.
------------
Penulis adalah Pejuang \'45 dan eks tawanan Belanda
Pesan Supriadi
Kita yang berjuang jangan sekali-kali mengharapkan pangkat, kedudukan, ataupun gaji yang tinggi.
Disampaikan pada
saat Supriadi memimpin pertemuan rahasia yang dihadiri beberapa
anggota Peta untuk melakukan pemberontakan melawan pemerintah Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar