<!-- Facebook Pixel Code --> <script> !function(f,b,e,v,n,t,s) {if(f.fbq)return;n=f.fbq=function(){n.callMethod? n.callMethod.apply(n,arguments):n.queue.push(arguments)}; if(!f._fbq)f._fbq=n;n.push=n;n.loaded=!0;n.version='2.0'; n.queue=[];t=b.createElement(e);t.async=!0; t.src=v;s=b.getElementsByTagName(e)[0]; s.parentNode.insertBefore(t,s)}(window, document,'script', 'http://connect.facebook.net/en_US/fbevents.js'); fbq('init', '873803466151395'); fbq('track', 'PageView'); </script> <noscript><img height="1" width="1" style="display:none" src="http://www.facebook.com/tr?id=873803466151395&ev=PageView&noscript=1" /></noscript> <!-- End Facebook Pixel Code --> Read more: http://myhafiezers.blogspot.com/2011/10/membuat-salam-penutup-pada-blogger_29.html#ixzz29ABqnkgC

Ruang Komunikasi

Selamat datang

Jumat, 14 September 2012

Mengenal Perjuangan Supriadi di Blitar

.
SEBAGAIMANA diketahui tepatnya pada tanggal 14 Februari 1945 atau enam bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia disiarkan di kaki Gunung Kelud, Jawa Timur di Kota Blitar, telah terjadi suatu peristiwa yang sangat menggemparkan, ialah pemberontakan tentara Peta Blitar, dan tentu kita tidak akan lupa pada seorang tokoh pemuda, yaitu nama Supriadi, pemimpin dan pendukung utama pemberontakan tersebut.
Pada waktu kolonial Belanda Supriadi pernah sekolah di Europesche Lagere School dan meneruskannya ke MULO di Madiun. Dan pada zaman Jepang masuk latihan pemuda atau Seinandoyo di Tangerang, yang siswa-siswanya terdiri dari berbagai pelosok tanah air. Di tempat ini ia mendapat latihan dan gemblengan sebagai calon prajurit Pembela Tanah Air (Peta).
Selama dalam latihan mereka tak boleh keluar asrama, maka dengan demikian mereka tak tahu dan mengalami bagaimana tindakan Jepang yang mereka anggap sebagai saudara tua terhadap rakyat Indonesia sesungguhnya.
Baru setelah latihan militer selesai dan mereka dapat bergaul dengan rakyat Indonesia, mereka baru mengetahui betapa bengis dan kejamnya Jepang - terutama Kempeytai-nya - yang jika kemauannya tidak dituruti main hantam dan pukul saja, sehingga babak belur dibuatnya.
Melihat kenyataan yang demikian, timbul suatu keyakinan, bahwa janganlah mengharap kemerdekaan bangsa dan Tanah Air akan diperoleh dari Jepang.
Selain itu melihat kenyataan, bahwa para anggota Peta harus memberi hormat lebih dahulu kepada Jepang, walaupun pangkat si Jepang hanya prajurit. Nyata ini diskriminasi yang tak ada dalam kamus.
Pengalaman semuanya ini membuat Supriadi sebagai Daidan dari Kazerne Blitar telah mengadakan permufakatan dengan bawahannya sesama anggota Peta Blitar yang berjumlah 70 orang itu akan memberontak terhadap Jepang yang tak dapat dipercayai lagi, bahwa Jepang akan menepati janjinya: Kemerdekaan Bangsa dan Rakyat Indonesia.
Dengan pengamalan tersebut mereka bersemboyan:
1. Menghendaki kemerdekaan Tanah Air secepatnya
2. Kemerdekaan harus direbut dengan kekerasan
3. Sebagai bangsa yang ingin merdeka, harus berani berkorban dalam melawan penindasan dan perbuatan sewenang-wenang.
4. Konsekwensinya ialah kita harus melawan musuh dengan segala akibatnya.
Pemberontakan itu yang berarti melawan Jepang yang sedang berkuasa dan tidak lagi patuh kepada Jepang, menimbulkan tekad Jepang dan Kempeytainya untuk membasminya dengan kekerasan.
Tapi tidak begitu mudah Jepang menangkap mereka, karena mereka menyusup di desa-desa sekitar Kazerne Blitar, dan penduduk yang mengetahui keadaan mereka yang sedang dicari-cari karena pemberontakan, melindungi mereka, karena simpatinya terhadap mereka.
Jepang yang tak kekurangan akal, dan setelah sekian lama tak berhasil, mengumumkan bahwa para anggota Peta yang berontak akan diterima lagi seolah-olah tidak kejadian suatu apa.
Tapi ini hanya akal-akalan Jepang saja. Sebab setelah mereka kembali ke Kazerne mereka di Blitar, mereka semuanya dimasukkan di sel, dan mereka akan diadili oleh pengadilan militer Jepang di Jakarta.
Kesemuanya 70 anggota Peta - termasuk enam Shodanconya - dibawa ke Jakarta, kecuali Supriadi yang tak kembali ke Kazerne dan tak ditemukan.
Pada tanggal 12 Maret 1945, semuanya dijatuhkan hukuman dan enam Shodanco yang ikut memimpin pemberontakan itu dijatuhkan hukuman mati oleh Jepang dan yang lainnya bervariasi dari hukuman seumur hidup sampai beberapa bulan. Dan hukuman mati keenam Shodanco itu segera dilaksanakan oleh rezim Jepang, kecuali Supriadi sendiri yang dianggap (in absentia), karena tak pernah tertangkap.
Terlepas dari dugaan orang, bahwa Supriadi masih hidup, menghilang atau sudah wafat, tapi Kabinet Presidentil yang pertama pada tanggal 19 April 1946, Supriadi telah diangkat (in absentia) menjadi Menteri Keamanan Rakyat, tapi ia tak pernah muncul waktu itu atau sesudahnya, yang akhirnya dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No 063/TK/Tahun 1975 telah dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional.
Dapat pula kami tambahkan di sini tentang kemisteriusan Supriadi. Supriadi bukan saja kabur ke Jawa Tengah, tapi terus ke daerah Banten daerah Bayah, di Banten Selatan. Di sana ada seorang haji yang bernama Haji Mukandar. Ia mengatakan, bahwa sesaat sebelum Indonesia Merdeka, ia telah memakamkan seorang bernama Supriadi, bekas pemimpin tentara Peta yang memberontak terhadap Jepang.
Haji Mukandar tahu betul siapa Supriadi. Pada waktu Supriadi sakit (desentri), dua kawan Supriadi telah minta kepadanya agar menjaga dan merawatnya Supriadi dengan baik. Dijelaskan pula, bahwa yang sakit itu adalah seorang pejuang yang memberontak terhadap kekuasaan Jepang.
Demikianlah selama merawat Supriadi, haji Mukandar mendapat pesan almarhum, bahwa jika ia meninggal agar jenazahnya dimandikan dan disembahyangkan. Oleh karena itu waktu Supriadi wafat diperkirakan pada bulan Juli, pesan almarhum dilaksanakan dengan baik.
Setelah Indonesia merdeka -- suatu waktu bulan April dan Mei - Haji Mukandar kedatangan tamu dari Departemen Sosial -- Ibu Rusiah Sarjono SH selaku Ketua Harian Badan Pembina Pahlawan pergi ke Bayah bersama stafnya akan mengecek kuburan Supriadi. Ia membawa banyak foto-foto dan Haji Mukandar diminta agar ia menunjukkan mana foto Supriadi, yang ia makamkan. Tanpa kesulitan ia langsung dapat mengenal dan menunjukkan tokoh pemberontak tentara Peta itu.
Dengan tak ragu-ragu lagi H Mukandar menunjukkan kuburan dimana Supriadi dimakamkan. Setelah diadakan penggalian secara ilmu kepurbakalaan sampai beberapa meter luasnya, ternyata tempat yang ditunjuk oleh Haji Mukandar sebagai tempat mengubrukan Supriadi, tidak ditemukan tulang sedikit pun. Memang ini aneh dan satu kemisteriusan yang sampai sekarang pun tak terpecahkan.
------------
Penulis adalah Pejuang \'45 dan eks tawanan Belanda 

Pesan Supriadi
Kita yang berjuang jangan sekali-kali mengharapkan pangkat, kedudukan, ataupun gaji yang tinggi.
Disampaikan pada
saat Supriadi memimpin pertemuan rahasia yang dihadiri beberapa anggota Peta untuk melakukan pemberontakan melawan pemerintah Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar