<!-- Facebook Pixel Code --> <script> !function(f,b,e,v,n,t,s) {if(f.fbq)return;n=f.fbq=function(){n.callMethod? n.callMethod.apply(n,arguments):n.queue.push(arguments)}; if(!f._fbq)f._fbq=n;n.push=n;n.loaded=!0;n.version='2.0'; n.queue=[];t=b.createElement(e);t.async=!0; t.src=v;s=b.getElementsByTagName(e)[0]; s.parentNode.insertBefore(t,s)}(window, document,'script', 'http://connect.facebook.net/en_US/fbevents.js'); fbq('init', '873803466151395'); fbq('track', 'PageView'); </script> <noscript><img height="1" width="1" style="display:none" src="http://www.facebook.com/tr?id=873803466151395&ev=PageView&noscript=1" /></noscript> <!-- End Facebook Pixel Code --> Read more: http://myhafiezers.blogspot.com/2011/10/membuat-salam-penutup-pada-blogger_29.html#ixzz29ABqnkgC

Ruang Komunikasi

Selamat datang

Rabu, 03 Oktober 2012

Agresi Militer Belanda II

 Penyebab Terjadinya Agresi Militer Belanda II
TNI melawan Belanda pada Agresi Militer Belanda II

            Seperti kejadian sebelumnya dalam Perundingan Linggarjati, pelaksanaan hasil Perundingan Renville mengalami kemacetan. Upaya jalan keluar yang ditawarkan oleh KTN selalu mentah kembali karena tidak adanya kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Indonesia melalui Hatta (wakil presiden merangkap perdana menteri) tetap tegas mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara Belanda terus berupaya mecari cara menjatuhkan wibawa Indonesia. Saar ketegangan semakin memuncak Indonesia dan Belanda mengirimkan nota kepada KTN. Nota itu sama-sama berisi tuduhan terhadap pihak lawan yang tidak menghormati hasil Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang tengah malam pada tanggal 18 Desember 1948, Wali Tinggi Kota Mahkota Belanda Dr. Beel mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville. Dini hari tanggal 19 Desember 1948, pesawat terbang Belanda membombardir Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan sejumlah bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali agresi militer Belanda II. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara. Dalam waktu singkat, Yogyakarta, ibu kota RI ketika itu, dapat dikuasai.

Tujuan Belanda Mengadakan Agresi Militer II
Pasukan Belanda Menyusun strategi
       Adapun tujuan Belanda mengadakan Agresi Militer yang kedua ialah ingin menghancurkan kedaulatan Indonesia dan mengusai kembali wilayah Indonesia dengan melakukan serangan militer terhadap beberapa daerah penting di Yogyakarta sebagai ibu kota Indonesia pada saat itu. Pihak Belanda sengaja membuat kondisi pusat wilayah Indonesia tidak aman sehingga akhirnya diharapkan dengan kondisi seperti itu bangsa Indonesia menyerah dan bersedia menuruti ultimatum yang diajukan oleh pihak Belanda. Selain itu bangsa Indonesia juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa RI dan TNI-nya secara de facto tidak ada lagi.
 Kronologis Terjadinya Agresi Militer II
            Pelaksanaan hasil Perundingan Renville mengalami kemacetan. Upaya jalan keluar yang ditawarkan oleh KTN selalu mentah kembali karena tidak adanya kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Indonesia melalui Hatta (wakil presiden merangkap perdana menteri) tetap tegas mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara Belanda terus berupaya mecari cara menjatuhkan wibawa Indonesia. Saar ketegangan semakin memuncak Indonesia dan Belanda mengirimkan nota kepada KTN. Nota itu sama-sama berisi tuduhan terhadap pihak lawan yang tidak menghormati hasil Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang tengah malam pada tanggal 18 Desember 1948, Wali Tinggi Kota Mahkota Belanda Dr. Beel mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville. Sementara itu keadaan dalam negeri sudah sangat tegang berhubung dengan oposisi yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (PKI dan sekutunya) terhadap politik yang dijalankan oleh Kabinet Hatta. Oposisi ini meningkat setelah seorang tokoh komunis kawakan, Muso, yang memimpin pemberontakan PKI tahun 1926, kembali ke Indonesia dari Uni Soviet. Muso sejak mudanya memang selalu bersikap radikal dan ia yang mendorong PKI untuk memberontak pada tahun 1926. Oposisi terhadap kabinet Hatta mencapai pucaknya ketika Sumarsono, pemimpin Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) mengumumkan pembentukan pemerintahan Soviet di Madiun tanggal 18 September 1948. Pemberontakan ini segera ditumpas pemerintah Republik. Belanda hendak mempergunakan pemberontakan PKI itu sebagai alasan yang sangat baik untuk menyerang Republik dengan dalih membantu Republik melawan komunisme.
            Sebelum pasukan-pasukan Republik dapat beristirahat setelah beroperasi terus-menerus melawan PKI, Belanda menyerang lagi. Dini hari tanggal 19 Desember, pesawat terbang Belanda memborbardir Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan sejumlah bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali agresi militer Belanda II. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara. Dalam waktu singkat, Yogyakarta ibu kota RI ketika itu, dapat dikuasai.
            Dalam suasana genting, pemerintah RI mengadakan rapat kilat dan menghasilkan keputusan darurat berikut.
§        Melalui radiogram, pemerintah RI memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Sumatera.
§        Presiden dan wakil presiden RI tetap tinggal dalam kota dengan resiko ditangkap Belanda, agar dekat dengan KTN (yang sekarang berada di Kaliurang).
§        Pimpinan TNI menyingkir keluar kota dan melancarkan perang gerilya dengan membentuk wilayah pertahanan (sistem wehkreise) di Jawa dan Sumatera.

Jendral Soedirman ditandu karena sakit

            Setelah menguasai Yogyakarta, pasukan Belanda menawan presiden, dan sejumlah pejabat. Soekarno diasingkan ke Prapat, Hatta ke Bangka, tetapi kemudian Soekarno dipindahkan ke Bangka. Sementara itu, Jenderal Soedirman memimpin TNI melancarkan perang gerilya di kawasan luar kota.










Dampak Agresi Militer Belanda II bagi Bangsa Indonesia
            Adanya Agresi Militer kedua yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia yaitu mengakibatkan dihancurkannya beberapa bangunan penting di Yogyakarta, bahkan Yogyakarta yang pada saat itu sebagai ibu kota Indonesia juga mampu dikuasai oleh Belanda. Selain itu presiden dan wakil presiden beserta sejumalh pejabat pemerintah Indonesia berhasil ditawan kemudian diasingkan oleh pihak Belanda.


 Perjuangan Bangsa Indonesia Terhadap Agresi Militer Belanda II
a.      Keampuhan Strategi Diplomasi
            Dengan melancarkan agresi militernya yang kedua, Belanda ingin menunjukkan kepada dunia bahwa RI beserta TNI-nya secara de facto tidak ada lagi. Tujuan Belanda itu dapat digagalkan oleh perjuangan diplomasi. Para pejuang diplomasi antara lain Palar, Sujatmoko, Sumitro, dan Sudarpo yang berkeliling di luar negeri. Tindakan yang dilakukan dalam perjuangan diplomasi antara lain sebagai berikut.
§         Menunjukkan pada dunia internasional bahwa agresi militer Belanda merupakan bentuk tindakan melanggar perjanjian damai (hasil Perundingan Renville).
§         Meyakinkan dunia bahwa RI cinta damai, terbukti dari sikap, mentaati hasil Perundingan Renville dan penghargaan terhadap KTN.
§         Membuktikan bahwa RI masih berdaulat dengan fakta masih berlangsungnya pemerintahan melalui PDRI dan keberhasilan TNI menguasau Yogyakarta selama 6 jam (Serangan Oemoem 1 Maret).
            Kerja keras perjuangan diplomasi mampu mengundang simapti internasional terhadap Indonesia. Amerika Serikat mendesak Belanda untuk menarik mundur pasukannya dari wilayah RI (dengan ancaman menghentikan bantuannya). Dewan Keamanan PBB mendesak Belanda untuk menghentikan operasi militer dan membebaskan para pemimpin Indonesia. Desakan yang gencar dari dunia internasional akhirnya dapat membuat Belanda mengakhiri militernya kedua.

b.      Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
            Sebelum pasukan Belanda memasuki istana kepresidenan, Presiden Soekarno mengintruksikan kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara (yang kebetulan berada di Sumatera) untuk membentuk pemerintahan darurat, jika pemerintah RI Yogyakarta tidak dapat berfungsi lagi. Sesuai dengan instruksi itu, Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia. PDRI berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Kabinet PDRI
§         Ketua (perdana menteri) merangkap menteri pertahanan dan penerangan: Syafruddin Prawiranegara.
§         Menteri luar negeri: A. A. Maramis
§         Menteri pendidikan dan kebudayaan merangkap menteri dalam negeri dan agam: Teuku Moh. Hasan.
§         Menteri keuangan merangkap menteri kehakiman: Lukman Hakim.

§         Menteri sosial dan perburuhan, pembangunan, organisasi pemuda dan keamanan: Sutan Rasyid.
§         Menteri pekerjaan umum merangkap menteri kesehatan: Ir. Sitompul.
§         Menteri perhubungan merangkap menteri kemakmuran: Ir. Inderacaya.

            Selama agresi militer II, Belanda terus menerus memprogandakan bahwa pemerintahan di Indonesia sudah tidak ada lagi. Propaganda dapat digagalkan oleh PDRI. PDRI berhasil menunjukkan kepada dunia internasional bahwa pemerintahan dalam tubuh RI masih berlangsung. Bahkan, pada tanggal 23 Desember 1948, PDRI mampu memberikan instruksi lewat radio kepada wakil RI di PBB. Isinya, pihak Indonesia sekaligus mengundang simapti internasional.
            Atas dasar keberhasilan itu, para pemimpin PDRI sempat kecewa dengan tindakan para pemimpin RI di Bangka yang mengadakan perundingan dengan Belanda tanpa sepengetahuan mereka. Mereka juga tidak menyetujui hasil Perundingan Roem-Roijen yang cenderung melemahkan wibawa Indonesia. Para pemimpin PDRI yakin bahwa kedudukan Indonesia telah kuat sehingga mampu lebih banyak kepada Belanda.
            Untuk menyelesaikan perbedaan pandangan, berlangsung pertemuan antara para pemimpin PDRI dan pemimpin RI yang pernah ditawan di Bangka. Pertemuan itu berlangsung pada tanggal 13 Juli 1949 di Jakarta. Hasil pertemuan itu adalah sebagai berikut.
§         PDRI menyerahkan keputusan mengenai hasil Perundingan Roem Roijen kepada kabinet, Badan Pekerja KNIP, dan pimpinan TNI.
§         Pada hari itu juga, Syafruddin Prawiranegara menyerahkan mandat secara resmi kepada Wakil Presiden Hatta.


c.       Perundingan Roem-Roijen

            Untuk menjamin terlaksananya penghentian agresi militer Belanda II, PBB membentuk United Nations Commission for Indonesia (UNCI) atau Komisi PBB untuk Indonesia. Perundingan mulai pada pertengahan April 1949. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Roem, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. van Roijen. Tokoh UNCI yang berperan dalam perundingan adalah Merle Cohran dari Amerika Serikat. Perundingan banyak mengalami kemacetan sehingga baru mencapai kesepakatan pada awal Mei 1949.

Hasil Perundingan Roem-Roijen
Pernyataan Indonesia
§         Perintah kepada TNI untuk menghentikan perang gerilya.
§         Bekerja sama mengendalikan perdamaian, ketertiban, dan keamanan.
§         Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag untuk mempercepat pengakuan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat secara lengkap tanpa syarat.
Pernyataan Belanda
§         Menyetujui pemulihan pemerintahan RI di Yogyakarta.
§         Menjamin penghentian operasi militer dan pembebasan semua tahanan politik.
§         Menyetujui RI sebagai negara bagian dalam Negara Indonesia Serikat.
§         Berusaha sungguh-sungguh menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Konfrensi Meja Bundar
            Sejak bulan Juni 1949, berlangsung persiapan pemulihan pemerintahan RI di Yogyakarta. Persiapan itu berlangsung di bawah pengawasan UNCI. Sejak tanggal 24 sampai 29 Juni 1949, tentara Belanda ditarik dari kota Yogyakarta. Setelah itu, TNI memasuki kota Yogyakarta. Pada tanggal 6 Juni 1949, presiden dan wakil presiden serta para pemimpin lainnya kembali ke Yogyakarta.
  http://komunitaspecintasejarah.blogspot.com dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar